SUARAMALAKA.COM | Wartawan Malaka mengambil langkah radikal, memutuskan untuk beraksi, dan bukan tanpa alasan! Kegiatan Deklarasi Kampanye Damai yang diinisiasi Komisi Pemilihan Umum setempat dianggap sebagai acara yang tertutup bagi media. Begitu tertutupnya, bahkan wartawan pun merasa seperti pengisi acara yang diusir dari panggung. Mari kita kupas tuntas apa yang sebenarnya terjadi di balik layar ini!
Apa yang memicu aksi boikot ini? KPU Malaka sepertinya memiliki ‘alergi’ berat terhadap wartawan. Dalam acara yang mereka adakan, para jurnalis dikesampingkan seolah-olah mereka adalah hantu yang tak diinginkan. Tentu saja, ini menimbulkan keresahan di kalangan wartawan, yang merasa bahwa informasi publik seharusnya dibagikan tanpa ada yang ditutupi. Satu pertanyaan muncul: apakah KPU tidak menyadari pentingnya transparansi dalam setiap aktivitas yang mereka lakukan?
Kegiatan Deklarasi ini diadakan pada 24 September 2024, namun sayangnya, acara yang seharusnya menjadi panggung demokrasi ini tidak melibatkan insan pers. Bisa dibayangkan, seolah-olah perayaan tanpa pesta—hanya ada keramaian tanpa suara yang membuatnya hidup. Para calon peserta, partai pendukung, dan sejumlah stakeholder hadir, tetapi tanpa reporter untuk mencatat momen bersejarah ini! KPU, sepertinya, ingin agar acara ini berlangsung seperti film muram—gelap dan tidak terpantau!
Ketidakhadiran wartawan pada kegiatan tersebut menimbulkan tanda tanya besar. Media seharusnya berperan sebagai jembatan informasi antara publik dan penyelenggara pemilu. Namun saat wartawan dipinggirkan, informasi yang didapat masyarakat menjadi terbatas. Bagaimana masyarakat akan memahami visi dan misi setiap calon tanpa hadirnya media? Ini seperti makan nasi tanpa sambal—kurang lengkap dan terasa hampa!
Kelompok Jurnalis Muda Malaka tidak tinggal diam! Mereka menyatakan bahwa sikap KPU Malaka sangat tertutup dan ‘alergi’ terhadap wartawan. Mereka meminta agar KPU lebih terbuka dan menyadari bahwa media adalah mitra, bukan musuh. “Deklarasi tanpa Wartawan, KPU Malaka apa yang kau sembunyikan?” menjadi salah satu headline yang muncul di benak mereka. Dengan begitu, boikot ini bukan hanya sekedar protes, tapi juga sebuah panggilan untuk refleksi!
Beberapa pegiat media sosial menganggap bahwa ini adalah pelanggaran hak atas informasi, sementara beberapa wartawan mengatakan, “Ah, mungkin KPU memiliki alasan yang bagus!” Namun, mayoritas mencermati ketidakhadiran media sebagai sinyal bahwa transparansi sedang dalam bahaya. “Tanpa media, kebebasan informasi di Malaka seperti sayur tanpa garam—kurang bumbu, tidak berasa,” ujar seorang warga saat diwawancarai.
Transparansi pemilu yang diharapkan masyarakat bisa terancam berkurang jika media tidak dilibatkan secara aktif. Sebagai garda terdepan dalam menyebarluaskan informasi, wartawan memiliki peran penting dalam memastikan akuntabilitas KPU. Jika tindakan ini dibiarkan, bisa jadi pemilu di Malaka akan berjalan layaknya sandiwara yang tanpa penonton—tidak ada yang tahu, tidak ada yang melihat! **(fb)