SuaraMalaka.com – Bupati Malaka,
Dr. Simon Nahak, SH, MH bersama sejumlah kepada daerah di Indonesia mengajukan gugatan uji materiil Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat, (26/1/2024).
Simon Nahak bersama sejumah kepala daerah tersebut mengajukan judicial review terhadap ketentuan Pasal 201 ayat (7), (8) dan (9) dalam UU No. 10/2016.
Pasal tersebut yang mengatur perihal pilkada serentak pada November 2024, karena berpotensi memangkas masa jabatan para kepala daerah.
Pilkada serentak tahun 2024 dianggap bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi dan merugikan sejumlah 270 kepala daerah, terkait terpangkasnya masa jabatan para kepala daerah.
Terkait pengajuan judicial review tersebut, Bupati Malaka, Dr. Simon Nahak, SH, MH membenarkan gugatannya ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2020.
Bupati Malaka mengaku menjabat sejak 26 April 2021, setelah dilantik Gubernur Nusa Tenggara Timur, Viktor Laiskodat di Aula El Tari, Kupang.
“Artinya, Jabatan Bupati dan Wakil Bupati Malaka akan berakhir pada 26 April 2026 mendatang. Termasuk 270 kepala daerah hasil Pilkada 2020 lalu,” jelas Bupati Simon Nahak.
Alasan Bupati Simon bersama 11 kepala daerah mengajukan judicial review UU Pilkada ke MK tersebut tersebut tidak lain, selain karena masa jabatan terpangkas secara signifikan akibat desain keserentakan Pilkada Serentak 2024.
“Desain keserentakan Pilkada 2024 yang tidak diterima adalah terpangkasnya masa jabatan kepala daerah 270 secara signifikan. Padahal menurut undang-undang, masa jabatan kepala daerah adalah lima tahun,” tambah Bupati yang bergelar doktor hukum pidana ini.
Bupati Simon mengaku sangat tidak setuju alias menolak, hal itu terkait bentuk kompensasi yang akan diperolehnya bersama 270 kepala daerah hasil Pilkada 2020 lalu berupa uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode.
“Ketentuan tersebut cukup aneh, kepala daerah tidak melaksanakan pekerjaan akan tetapi menerima gaji atau pensiunan. Bisa saja akan menjadi temuan kerugian negara. Karena 270 kepala daerah tidak menjalankan tugas sebagai kepala daerah, tetapi menerima gaji alias makan gaji buta,” jelas Bupati Simon.
Kompensasi yang diterima oleh 270 kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terkurangi masa jabatannya mengikuti ketentuan Pasal 202 UU 8/2015 dan akibat ketentuan Pasal 201 diberi kompensasi uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode.
Bupati Simon Nahak menyebut masyarakat juga sangat dirugikan ketika masa jabatan 5 tahun dipotong, akibat desain keserentakan Pilkada 2024.
“Padahal sesuai RPJM yang direncanakan adalah untuk 5 tahun. Sudah dibuatkan program kerja dan ditanda-tangani bersama DPRD,” tambah Bupati Simon.
Terakhir Bupati Simon menegaskan, sangat keberatan dengan desain keserentakan Pilkada 2024 yang mengakibatkan terpangkasnya masa jabatan kepala daerah 270 secara signifikan, yang juga disebut merugikan masyarakat yang telah memilih 270 kepala daerah hasil Pilkada 2020 se Indonesia itu.***