SUARAMALAKA.COM | Bupati Perdana Kabupaten Malaka periode 2016-2021, dr. Stefanus Bria Seran,M.Ph yang biasa disapa SBS adalah sosok pemimpin brilian, visioner, berintegritas dan tegas.
Karena memiliki keunggulan tersebut, maka pemimpin yang satu ini selalu berhasil menorehkan prestasi kerja disetiap organisasi kerja yang beliau pimpin. Ketegasan sikap dan disiplin diri SBS, telah mengantarnya menjadi pemimpin yang sukses, sejak masih menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Timur.
Karena keberhasilan di Sumba Timur, SBS atau lebih dikenal dr. Stef dipercayakan menjadi Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT pada masa kepemimpinan beberapa Gubernur NTT. Integritas dan keberhasilannya, seakan mempertegas keyakinan beberapa Gubernur NTT dalam masa kepemimpinan mereka bahwa menggantikan seorang dr. Stef sebagai Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT, adalah sebuah kemunduran berpikir dan sama saja dengan merancang kematian bagi sebagian besar masyarakat NTT, terutama Ibu-ibu dan anak-anak yang adalah masa depan bangsa.
Betapa tidak, karena beliaulah pencetus keberhasilan program revolusi Kesehatan Ibu dan Anak yang mengangkat derajat kesehatan Masyarakat NTT saat itu. Dalam ketegasan sikapnya, ternyata dr. Stef sangat perhatian bahkan empati dengan semua staf yang pernah menjadi tim kerjanya. Banyak staf yang sangat terbantu dengan hati lapang dr. Stef. Beliau tegas dalam sikap tapi dengan hati dan sangat iklas membantu. Itulah pengakuan sebagian besar staf dan sesamanya yang merasa terbantu.
Merasa terpanggil untuk membangun daerahnya Rai Malaka, pasca pemekaran Kabupaten Malaka dari Kabupaten Belu pada tahun 2013, maka beliau mengikuti perhelatan PILKADA pada tahun 2016 dan berhasil terpilih menjadi Bupati Perdana Kabupaten Malaka periode 2016-2021 bersama Wakil Bupatinya Drs. Daniel Asa.
Dalam memimpin Malaka sebagai Bupati Perdana, dr. Stef sangat menyadari akan keterbatasan sumber daya saat itu. Sebut saja: SDM yang sangat terbatas dari segi jumlah maupun mutu; Peralatan kerja dan infrastruktur pendukung yang sangat terbatas. Anggaran yang sangat minim dengan PAD yang sangat rendah. Dan dr. Stef tidak merubah gaya memimpinnya. Dia tetap menjadi dirinya. Beliau berkeyakinan bahwa kultur masyarakat Malaka yang merupakan keluarga besarnya sendiri, harus dibangun dengan jiwa juang dan ketegasan sebagai fondasi yang kokoh untuk berubah.
Para ASN dan masyarakat Malaka harus ditanamkan jiwa kerja yang ulet dan tangguh, cerdas, cekat, jujur, disiplin, terarah dan bertanggungjawab, namun tetap dalam bingkai budaya Malaka. Nilai ini tidak saja diajarkan kepada ASN yang adalah bawahannya dalam bekerja, tetapi juga ditanamkan untuk masyarakat banyak. Beliau tidak tebang pilih dalam bersikap (tegas). Entah keluarga dekatnya atau siapapun. Beliau terkenal sangat disiplin, tertib/teratur dan memiliki standar tinggi dalam bekerja. Apabila berulang kali staf melakukan kesalahan dan pelanggaran yang sama, maka dr. Stef akan sangat marah. Sungguh keterlaluan menurutnya kalau ASN yang digaji oleh negara untuk mengurus masyarakat, tetapi kenyataannya bekerja dengan santai, tidak jujur, tidak disiplin dan bekerja asal-asalan dan tidak terstandar.
Pada sisi lain masyarakat Malaka, sedang berhadapan dengan ragam persoalan hidupnya. Ini sebuah pertaruhan dan pilihan seorang pemimpin cerdas, yang dengan ketegasannya berpihak kepada kaum kecil. Baginya, untuk masyarakat apapun harus dilakukan, dan tidak ada kata, TIDAK BISA. dr. Stef terkenal sebagai pemimpin solutif, yang selalu merancang langkah alternatif penanganan setiap persoalan yang dihadapi. Ini wujud perhatian dan empati beliau kepada masyarakat yang dicintainya. Kondisi ini yang membuat segelintir orang yang sering dibina dalam konteks manajemen atau dimarahi dalam plintiran politis rival politik, melihatnya sebagai tindakan tidak terpuji, otoriter dan arogan.
Salah kah dr. Stef yang adalah seorang Bupati saat itu yang karena keberpihakan, tanggunghjwab dan empatinya terhadap persoalan masyarakat, membina dan memarahi ASN yang terus menerus melakukan kesalahan yang sama?
Secara umum label kemarahan lebih dikonotasikan secara negatif, apalagi dalam balutan kepentingan politik. Dalam praktek manajemen dan kepemimpinan, kemarahan sesungguhnya sebuah kompetensi yang sangat diperlukan oleh seorang pemimpin.
Menurut Sarlito dalam Harry Tjahjono (2016), mengatakan: kemarahan sebagai kompetensi memiliki dua (2) sifat: Pertama, genuine (murni, Ikhlas). Sifat pertama dilakukan pemimpin karena dia ingin melakukan kebaikan dan perbaikan, perubahan positif. Ada standar tinggi yang dijaga dan diharapkan diraih pemimpin. Itu sebabnya kemarahan seorang pemimpin merupakan antithesis dari pemimpin yang hipokrit atau munafik, yang sepintas kelihatan sabar, kalem, senyam-senyum, kaka-kiki, tetapi sesungguhnya menyimpan dendam dan amarah serta menutupi kebenaran, so populis dan santun berucap namun sarat kepentingan dan ingat diri. Pemimpin jenis ini ibarat, serigala berbulu domba. Pemimpin yang tidak konsisten antara ucapan dan Tindakan. Pemimpin yang hanya menebar pesona atau pencintraan, biar dinilai “BAIK” dan “SANTUN”.
Sifat Kedua, Obyektif. Pemimpin marah dengan tujuan yang jelas dan terukur untuk sebuah perubahan yang lebih baik. Yang berorientasi kepada visi dan kebutuhan riil masyarakat, yang tidak menebar janji muluk tapi terukur sesuai sumber daya yang dimiliki.
Pemimpin yang memilih diam dan tidak marah adalah pemimpin yang tidak memiliki standar kerja yang jelas, asal kepentingannya terakomodir. Yang tidak paham dan bingung mau menahkodai organisasi kemana arahnya. Maka pilihannya diam apalagi harus marah biar dinilai BAIK. Dia akan sangat menjaga zona nyaman, untuk menjaga citra dirinya.
Ketegasan sikap dr. Stef dalam masa kepemimpinannya telah menorehkan prestasi untuk Malaka. WTP untuk Kabupaten Malaka yang tergolong sangat belia saat itu. Pelayanan RSPP yang dinilai PARIPURNA atau Bintang lima, dan wajah pemerintahan yang berwibawa dan disegani dilevel provonsi dan pusat, serta berbagai kebijakan yang pro rakyat adalah buah dari kecerdasan, integritass dan ketegasan sikap seorang dr. Stef.
Sekedar refleksi dan mengingatkan kita, bahwa kemunduran mutu pendidikan di Indonesia saat ini, salah satu penyebabnya adalah karena sekolah dan guru takut “MEMBINA” siswanya. Yang terjadi adalah membiasakan orang untuk bersikap pasrah dan masa bodoh dengana keadaan. Generasi 90-an kebawah benar-benar merasakan bagaimana tegas dan disiplinnya sekolah dan guru-guru saat itu, dibandingkan dengan sekolah dan guru-guru sekarang. Niat tulus dan ketegasan para guru saat itu, telah menghasilkan pemimpin-pemimpin sukses saat ini.
Kita ingin Malaka BENAR-BENAR BERUBAH, tidak sekedar retorika dan pencitraan. Kita butuh keseriusan dan “KETEGASAN” sikap seorang pemimpin untuk membangun Ria Malaka. Kita teringat dengan pepatah lama, “DIUJUNG ROTAN ADA EMAS.” Benar adanya kalau kita mau refleksikan secara jujur dan mengakui bahwa bersikap tegas sampai “MARAH” untuk sebuah kebaikan dan kemajuan, mengapa tidak?!. (*)